CINTA TAK HARUS MENANG

 


https://pxhere.com/en/photo/1502051

            Cinta Tak Harus Menang

Parto marah sedih plus kecewa. Gak disangka,  kok bisa Narto sahabatnya menyakiti dirinya begitu rupa. Didepan mata Parto,  Narto berjalan berdua sama Dartik. Mereka berdua asyik memilih-milih bros dan jepit . Dartik memang suka sekali bros atau jepit. Pokoknya yang berbau-bau asesoris, Dartik suka sekali. Rambutnya bahkan selalu ada jepit rambut.  Kalau gak, tali rambutnya pasti beraneka macam bentuknya.

            “Bros yang biru bagus lho! Anggun dan dewasa. Jangan pakai yang lucu-lucu, ntar kayak anak kecil.” Kata Narto, menatap mesra kearah Dartik. “Ah masak sih mas, aku suka gemes lihat jepit-jepit yang lucu. Tapi gak papa kok mas, aku tahu aku sudah wanita dewasakan? Agak gak pantes pakai  yang lucu-lucu lagi,  iya’kan? “ seloroh Dartik manja, tanggannya erat merangkul  lengan Narto. Mareka berdua tidak sadar, hanya 3 meter di belakang mereka, Parto mendengar obrolan mereka dengan hati membara. Kepalanya pusing, tangannya mengepal keras.   Hari masih belum terlalu siang. Namun bagi Parto udara terasa sangat panas.  Parto keluar dari toko Pak Dolah melewati mereka berdua, yang tidak juga sadar, akan keberadaan Parto . “Terlalu … terlalu!” umpat Parto dalam hati.

            Parto mengambil sepedanya cepat-cepat, dikayuhnya dengan kecepatan melebihi kuda.  Matanya berkunang-kunang. Jantungnya serasa sesak. Baru kemarin dia bercerita kepada Narto, bagaimana perasaannya tiap kali melihat Dartik melewati rumahnya. Dartik bekerja di Toko baju terbesar di kecamatan, Toko “Barokah” punya Haji Toha. Tiap hari Dartik lewat di depan rumah Parto , pulang dan pergi  bekerja. Bagi Parto , Dartik calon istri idaman. Tiap pagi rajin bersih-bersih rumah, lalu berangkat kerja dengan baju rapi   dan badan yang seharum melati. Rambutnya selalu diikat dengan karet yang berganti-ganti bentuknya.

            “Nar.. coba tebak tadi pagi dia pakai baju warna apa?” ujar Parto berbinar-binar. Saat itu mereka sedang  ngarit  bersama. Sehari sekali, Parto jalan bareng mencari rumput segar untuk ternak-ternak mereka. Narto tenang saja, wajahnya datar. Bagi Parto itu  biasa, Narto memang tidak banyak bicara, lebih banyak mendengarkan. “Warnanya ungu, karet rambutnya kayak bulu-bulu gitu, warnanya ungu juga. Dia nyapa aku Nar, berangkat dulu yang cak Parto! waah, meleleh aku Nar”, Parto selalu semangat bercerita tentang Dartik, sambil tangannya mengelus-ngelus dadanya sendiri. Wajahnya tersenyum-senyum. Andaikata di film, pasti diatas kepalanya sudah muncul, foto Dartik dalam bingkai asap.

            Namun sekarang didepan matanya sendiri, Parto melihat Narto jalan dengan Dartik. Mesranya kayak di film remaja.  Narto nampak gagah. Bercelana jins biru, berkaos hitam. Ala pemuda kota. Padahal biasanya juga cuma bercelana kolor lusuh, berkaos kumal. Belum pernah Parto melihat Narto seganteng itu, paling juga pakai baju koko saat diundang hajatan tetangga.  Apalagi Parto melihat tangan Dartik menggelayut di lengan Narto. “Busyet! kurang ajar kau Narto!” tangan Parto mengepal menahan marah.

            “Lalu kenapa?” kata Narto dengan suara tenang. “Apa aku tidak boleh dekat dengan Dartik? dia bukan istri siapapun bukan?” kata Narto ringan.

“ Kau tahu aku suka sekali sama Dartik bukan ?” sergah Parto keras.

“Lho, kamu cuma suka, warna bajunyalah. Warna jepitnya. Senyumnya , itu saja kan”. Narto tetap datar.

Parto semakin emosi, “Tentu saja itu tanda aku suka, aku cinta sama dia Nar! Kamu tahu itu. Jangan berlagak bodoh. Tega kamu sama aku Nar. Kau lihat aku Nar, “ tangan Parto mencengkeram kaos lusuh Narto.

“Kenapa? Aku harus mengalah lagi sama kamu. Ya, aku sudah lama dekat dengan Dartik. Lalu kenapa? Gak boleh hah!  Dulu kamu suka banget  Ninik, Poniyem dan …entah siapa lagi. Kamu juga yang suka sama Marsinah. Padahal kamu tahu aku sudah sangat dekat dengan Marsinah. Aku sudah lelah mengalah untuk kamu Parto. “ Narto tiba-tiba nyerocos panjang lebar. Kepala Parto pusing , matanya serasa berkunang-kunang. Tidak menyangka Narto ternyata pendendam.

“Aku benci , punya teman yang pendendam Nar,” tegas Parto menahan marah.

“Aku benci berpura-pura Par, kamu memang temanku yang baik. Kita dekat sejak kecil. Tapi aku gak suka, kamu suka mainin perempuan. Maaf hubunganku dengan Dartik bukan main-main. Sebulan lagi aku mau melamar Dartik”. Dus!! Sesaat Narto terjerembab ke tanah. Pukulan keras Parto mendarat di wajahnya. Darah mengalir di sudut bibir Narto. Narto bangkit, segera menerjang badan besar milik Parto. Dia tidak peduli temannya jauh lebih besar. Harga dirinya terlalu tinggi untuk terus mengalah. Sesaat keduanya saling pukul dan bergulingan di tanah.

******

Sejak itu mereka tidak lagi terlihat bersama. Dartik juga tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin sudah  menikah dengan Narto, entahlah. Namun penduduk desa tidak lagi melihat  mereka bertiga. Ada kabar bahwa Parto merantau ke Jakarta. Dengar-dengar dia sudah menjadi satpam Bank yang cukup ternama. Narto, entah kemana. Kabarnya, memilih hidup didesa tetangga. Tidak ada yang tahu.

“Selamat ya sayang? bayinya sehat, kamu memang perempuan hebat”,

“ Terimakasih mas, kamu masih ngantuk. Sudah dua hari kurang tidur. Pulanglah, istirahat. Besok pagi jangan lupa bawakan pesananku ya?” Dartik tergolek masih sedikit pucat. Melahirkan pertamakali sangat melelahkan. Badannya serasa lemah, dia hanya ingin tidur.

“Tidurlah, jangan khawatirkan aku. Letihku sudah lenyap, melihat kalian berdua sehat.” Parto menggeser kursi di samping tempat tidur Dartik. Tangannya mengelus-ngelus rambut lebat Dartik. Senyum Dartik lemah, hatinya tenang dan bahagia. Kehadiran bayi mungil di rumahnya akan membuat dia tidak lagi kesepian. Pekerjaan Parto sebagai satpam kadang membuat Dartik harus rela sendirian. Dartik senang, bayi mungil akan menamani hari-harinya.  Apalagi Parto seringkali bertugas malam hari.

“Kamu tahu sayang , aku ingin memberi nama anak kita Bambang Sunarto, keren bukan !’ bisik Parto ke telinga istrinya. Lamat-lamat Dartik masih mendengar suara Parto suaminya. Sesaat terbayang sosok yang dulu sangat dekat dengannya. Namun sekejab hilang seperti buih.

Parto berdiri beranjak keluar. Di luar ruangan serba putih itu. Parto duduk persis di bawah pohon beringin. Ada taman bunga yang mengelilingi pohon beringin. Keluarga pasien rumah sakit ibu bersalin  itu, pasti betah  duduk berlama-lama di pawah pohon beringin. Parto memilih tempat duduk, persis di depan kamar Dartik. Matanya sebetulnya sudah sangat ngantuk. Tapi berat baginya meninggalkan Dartik sendirian.

“Bapak sebaiknya pulang!” suara perawat membuyarkan lamunan Parto. “Biar ibu istirahat dengan tenang, bapak juga besok bisa segar kembali. Tidak perlu begadang seperti tadi malam bukan?” . perawat itu betul, sebenarnya Parto ngantuk dan lelah.

Parto berdiri melangkah menuju kamar Dartik, bersiap hendak pulang. “Besok pagi sekali aku sudah kembali” , batinnya. Di ciumnya kening Dartik yang sedang  terlelap. Lamat-lamat terdengar suara tangis bayi di ruang bayi. Parto ingin melihat anaknya sekali lagi  sebelum pulang. Parto berjalan pulang melewati ruang bayi. Di balik kaca  jendela, Parto tersenyum bangga . Bayi laki-laki yang gagah. Beratnya  hampir tiga  kilogram. Pantas, Dartik harus berjuang ekstra. Parto mengayunkan langkahnya,  berjalan menuju tempat parkir, mengambil motor miliknya.

Sekelebat, nampak seorang laki-laki berjalan di belakang Parto. Berhenti tepat di tempat Parto tadi berdiri. Menatap bayi, yang pergelangan tangannya tertulis kertas "Ibu Dartik"

“Selamat teman, kamu sudah berhasil menjadi suami dan ayah yang hebat!” gumam laki-laki itu. Sesaat laki-laki itu memanggil perawat, lalu menitipkan kado berwarna biru. Tertulis di kertas kado besar itu, “Selamat Berbahagia koncoku. Aku Bangga Padamu_Narto “.

 

 

           


Komentar

  1. Narto.. Penasaran iki kisah nyata ato rekaan ha ha .. Mantabzz bok

    BalasHapus
  2. Wah.. keren banget Bunda cantik ♥️ cerpen menarik..semoga Dartik bahagia... salam semangat 💪

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUDUT FAVORITKU

RAPAT TEMU GURU SIAP PPDB

GURU ADALAH IBADAH