CINTA TAK HARUS MENANG
Cinta Tak Harus Menang
Parto
marah sedih plus kecewa. Gak disangka, kok bisa Narto sahabatnya menyakiti dirinya
begitu rupa. Didepan mata Parto, Narto
berjalan berdua sama Dartik. Mereka berdua asyik memilih-milih bros dan jepit .
Dartik memang suka sekali bros atau jepit. Pokoknya yang berbau-bau asesoris,
Dartik suka sekali. Rambutnya bahkan selalu ada jepit rambut. Kalau gak, tali rambutnya pasti beraneka
macam bentuknya.
“Bros yang biru bagus lho! Anggun
dan dewasa. Jangan pakai yang lucu-lucu, ntar kayak anak kecil.” Kata Narto,
menatap mesra kearah Dartik. “Ah masak sih mas, aku suka gemes lihat
jepit-jepit yang lucu. Tapi gak papa kok mas, aku tahu aku sudah wanita
dewasakan? Agak gak pantes pakai yang
lucu-lucu lagi, iya’kan? “ seloroh
Dartik manja, tanggannya erat merangkul lengan Narto. Mareka berdua tidak sadar, hanya
3 meter di belakang mereka, Parto mendengar obrolan mereka dengan hati membara.
Kepalanya pusing, tangannya mengepal keras. Hari
masih belum terlalu siang. Namun bagi Parto udara terasa sangat panas. Parto keluar dari toko Pak Dolah melewati
mereka berdua, yang tidak juga sadar, akan keberadaan Parto . “Terlalu …
terlalu!” umpat Parto dalam hati.
Parto mengambil sepedanya
cepat-cepat, dikayuhnya dengan kecepatan melebihi kuda. Matanya berkunang-kunang. Jantungnya serasa
sesak. Baru kemarin dia bercerita kepada Narto, bagaimana perasaannya tiap kali
melihat Dartik melewati rumahnya. Dartik bekerja di Toko baju terbesar di
kecamatan, Toko “Barokah” punya Haji Toha. Tiap hari Dartik lewat di depan
rumah Parto , pulang dan pergi bekerja.
Bagi Parto , Dartik calon istri idaman. Tiap pagi rajin bersih-bersih rumah,
lalu berangkat kerja dengan baju rapi dan badan yang seharum melati. Rambutnya
selalu diikat dengan karet yang berganti-ganti bentuknya.
“Nar.. coba tebak tadi pagi dia
pakai baju warna apa?” ujar Parto berbinar-binar. Saat itu mereka sedang ngarit bersama. Sehari sekali, Parto jalan bareng
mencari rumput segar untuk ternak-ternak mereka. Narto tenang saja, wajahnya
datar. Bagi Parto itu biasa, Narto
memang tidak banyak bicara, lebih banyak mendengarkan. “Warnanya ungu, karet
rambutnya kayak bulu-bulu gitu, warnanya ungu juga. Dia nyapa aku Nar,
berangkat dulu yang cak Parto! waah, meleleh aku Nar”, Parto selalu semangat
bercerita tentang Dartik, sambil tangannya mengelus-ngelus dadanya sendiri.
Wajahnya tersenyum-senyum. Andaikata di film, pasti diatas kepalanya sudah
muncul, foto Dartik dalam bingkai asap.
Namun sekarang didepan matanya
sendiri, Parto melihat Narto jalan dengan Dartik. Mesranya kayak di film
remaja. Narto nampak gagah. Bercelana
jins biru, berkaos hitam. Ala pemuda kota. Padahal biasanya juga cuma bercelana
kolor lusuh, berkaos kumal. Belum pernah Parto melihat Narto seganteng itu,
paling juga pakai baju koko saat diundang hajatan tetangga. Apalagi Parto melihat tangan Dartik
menggelayut di lengan Narto. “Busyet! kurang ajar kau Narto!” tangan Parto
mengepal menahan marah.
“Lalu kenapa?” kata Narto dengan
suara tenang. “Apa aku tidak boleh dekat dengan Dartik? dia bukan istri
siapapun bukan?” kata Narto ringan.
“ Kau tahu
aku suka sekali sama Dartik bukan ?” sergah Parto keras.
“Lho, kamu
cuma suka, warna bajunyalah. Warna jepitnya. Senyumnya , itu saja kan”. Narto
tetap datar.
Parto semakin
emosi, “Tentu saja itu tanda aku suka, aku cinta sama dia Nar! Kamu tahu itu.
Jangan berlagak bodoh. Tega kamu sama aku Nar. Kau lihat aku Nar, “ tangan
Parto mencengkeram kaos lusuh Narto.
“Kenapa? Aku
harus mengalah lagi sama kamu. Ya, aku sudah lama dekat dengan Dartik. Lalu
kenapa? Gak boleh hah! Dulu kamu suka
banget Ninik, Poniyem dan …entah siapa
lagi. Kamu juga yang suka sama Marsinah. Padahal kamu tahu aku sudah sangat
dekat dengan Marsinah. Aku sudah lelah mengalah untuk kamu Parto. “ Narto
tiba-tiba nyerocos panjang lebar. Kepala Parto pusing , matanya serasa
berkunang-kunang. Tidak menyangka Narto ternyata pendendam.
“Aku benci ,
punya teman yang pendendam Nar,” tegas Parto menahan marah.
“Aku benci
berpura-pura Par, kamu memang temanku yang baik. Kita dekat sejak kecil. Tapi
aku gak suka, kamu suka mainin perempuan. Maaf hubunganku dengan Dartik bukan
main-main. Sebulan lagi aku mau melamar Dartik”. Dus!! Sesaat Narto terjerembab
ke tanah. Pukulan keras Parto mendarat di wajahnya. Darah mengalir di sudut
bibir Narto. Narto bangkit, segera menerjang badan besar milik Parto. Dia tidak
peduli temannya jauh lebih besar. Harga dirinya terlalu tinggi untuk terus mengalah.
Sesaat keduanya saling pukul dan bergulingan di tanah.
******
Sejak itu
mereka tidak lagi terlihat bersama. Dartik juga tidak kelihatan batang
hidungnya. Mungkin sudah menikah dengan
Narto, entahlah. Namun penduduk desa tidak lagi melihat mereka bertiga. Ada kabar bahwa Parto merantau
ke Jakarta. Dengar-dengar dia sudah menjadi satpam Bank yang cukup ternama.
Narto, entah kemana. Kabarnya, memilih hidup didesa tetangga. Tidak ada yang
tahu.
“Selamat ya sayang? bayinya sehat,
kamu memang perempuan hebat”,
“ Terimakasih mas, kamu masih
ngantuk. Sudah dua hari kurang tidur. Pulanglah, istirahat. Besok pagi jangan
lupa bawakan pesananku ya?” Dartik tergolek masih sedikit pucat. Melahirkan
pertamakali sangat melelahkan. Badannya serasa lemah, dia hanya ingin tidur.
“Tidurlah, jangan khawatirkan aku.
Letihku sudah lenyap, melihat kalian berdua sehat.” Parto menggeser kursi di
samping tempat tidur Dartik. Tangannya mengelus-ngelus rambut lebat Dartik.
Senyum Dartik lemah, hatinya tenang dan bahagia. Kehadiran bayi mungil di
rumahnya akan membuat dia tidak lagi kesepian. Pekerjaan Parto sebagai satpam
kadang membuat Dartik harus rela sendirian. Dartik senang, bayi mungil akan menamani hari-harinya. Apalagi Parto seringkali bertugas malam hari.
“Kamu tahu sayang , aku ingin memberi
nama anak kita Bambang Sunarto, keren bukan !’ bisik Parto ke telinga istrinya.
Lamat-lamat Dartik masih mendengar suara Parto suaminya. Sesaat terbayang sosok
yang dulu sangat dekat dengannya. Namun sekejab hilang seperti buih.
Parto berdiri beranjak keluar. Di
luar ruangan serba putih itu. Parto duduk persis di bawah pohon beringin. Ada
taman bunga yang mengelilingi pohon beringin. Keluarga pasien rumah sakit ibu
bersalin itu, pasti betah duduk berlama-lama di
pawah pohon beringin. Parto memilih tempat duduk, persis di depan kamar Dartik. Matanya
sebetulnya sudah sangat ngantuk. Tapi berat baginya meninggalkan Dartik
sendirian.
“Bapak sebaiknya pulang!” suara
perawat membuyarkan lamunan Parto. “Biar ibu istirahat dengan tenang, bapak
juga besok bisa segar kembali. Tidak perlu begadang seperti tadi malam bukan?” .
perawat itu betul, sebenarnya Parto ngantuk dan lelah.
Parto berdiri melangkah menuju kamar Dartik, bersiap hendak pulang.
“Besok pagi sekali aku sudah kembali” , batinnya. Di ciumnya kening Dartik yang
sedang terlelap. Lamat-lamat terdengar
suara tangis bayi di ruang bayi. Parto ingin melihat anaknya sekali lagi sebelum pulang. Parto berjalan pulang melewati
ruang bayi. Di balik kaca jendela, Parto
tersenyum bangga . Bayi laki-laki yang gagah. Beratnya hampir tiga
kilogram. Pantas, Dartik harus berjuang ekstra. Parto mengayunkan langkahnya, berjalan
menuju tempat parkir, mengambil motor miliknya.
Sekelebat, nampak seorang laki-laki
berjalan di belakang Parto. Berhenti tepat di tempat Parto tadi berdiri.
Menatap bayi, yang pergelangan tangannya tertulis kertas "Ibu Dartik"
“Selamat teman, kamu sudah berhasil
menjadi suami dan ayah yang hebat!” gumam laki-laki itu. Sesaat laki-laki itu
memanggil perawat, lalu menitipkan kado berwarna biru. Tertulis di kertas kado
besar itu, “Selamat Berbahagia koncoku. Aku Bangga Padamu_Narto “.
Keren bu..mantap
BalasHapusApik bun cerita nya
BalasHapusTerimakasih yang sudah mampir
BalasHapusNarto.. Penasaran iki kisah nyata ato rekaan ha ha .. Mantabzz bok
BalasHapusWah.. keren banget Bunda cantik ♥️ cerpen menarik..semoga Dartik bahagia... salam semangat 💪
BalasHapus